Senin, 14 Desember 2009

Asal Usul Durian

Pada zaman dahulu kala, seorang raja bergelar Baron Mai berkuasa di sebuah kerajaan. Raja tersebut memiliki Permaisuri yang masih muda dan sangat cantik. Namun Permaisuri tidak mencintai Raja, karena Raja sudah tua dan buruk rupa.

Tentu saja Raja sedih. Lalu dia mencari bantuan seorang pertapa dari gunung Ipu.

Setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang berat, akhirnya Raja sampai di gunung Ipu.

Sang pertapa mendengarkan cerita Raja dengan takzim dan berkata: “Oh, baiklah Paduka, saya akan membantu. Bawakan saja 12 sendok besar susu kerbau, satu telur burung Tabon hitam dan setangkai bunga dari pohon tipuan.”

Raja mengerahkan seluruh kerajaan untuk tugas ini. Para petani pen mengumpulkan susu kerbau, kura-kura milik kerajaan menemukan telur burung Tabon, tapi tidak seorang pun menemukan pohon tipuan.

Raja menjadi sangat sedih karenanya.

Tiba-tiba malam itu ada seorang peri yang baik menampakkan diri dan berkata pada Raja. “Bunga tipuan yang Paduka cari itu ada di hutan, dan dikenakan seorang Peri di rambutnya. Tetapi dia tidak akan memberikan bunga itu dengan mudah. Jika Paduka mengikuti saya, maka saya dapat membantu untuk menemukannya.”

Raja kemudian mengikuti Peri terbang di angkasa. Perjalanan mereka sangat jauh, menuju hutan dimana para Peri beristirahat. Sampai disana, peri di angkasa segera cepat berubah menjadi burung kecil bersayap panjang. Dia terbang menukik dan mengambil bunga yang indah di rambut seorang Peri dan membawanya pada Raja.

Raja sangat gembira. Dia mengumpulkan ketiga bahan ramuan tersebut dan cepat membawanya ke gua dimana pertapa berada.

Lalu sang pertapa mulai bekerja. Ia mengambil sari madu dari bunga pohon tipuan dan menuangkannya bersama susu kedalam telur. Kemudian dia berkata: “Tanamlah ramuan dalam telur ini ditaman dan biarkan Permaisuri memakan buahnya.,” katanya. “Permaisuri akan jatuh cinta pada Paduka, tetapi ingat, Paduka harus mengundang saya pada saat pesta perayaannya.”

Raja berdebar-debar. Dengan perasaan tidak sabar segera ditanamnya telur di kebun istana. Keesokan harinya, ajaib, ada sebatang pohon besar tumbuh di tempat Raja kemarin menanam telurnya. Buahnya besar-besar dan menerbitkan selera.

Raja memetik satu dan memberikannya kepada permaisuru. Lalu, tiba-tiba, Permaisuri langsung jatuh cinta pada Raja. Mantra sang Pertapa ternyata ampuh.

Tentu saja Raja sangat gembira. Sebuah pesta besar diadakan. Seluruh warga kerajaan diundang. Mereka bersuka ria selama tujuh hari tujuh malam. Tetapi dalam kegembiraanya, Raja lupa akan janjinya untuk mengundang sang Pertapa. Apa yang terjadi kemudian? Karena marahnya terhadap Raja yang tak tahu berterimakasih itu, dia lalu mengutuk buah yang dimakan Permaisuri tadi menjadi buah yang berduri dan berbau tidak sedap.

Begitulah asal muasal durian. Buah berduri yang berbau tidak sedap, tetapi sangat nikmat rasanya. Siapa pun yang memakannya akan merasakan bahwa dagingnya terasa lembut seperti telur rebus, halus seperti susu dan terasa manis seperti sari madu.






sumber : ORBIT

Sabtu, 12 Desember 2009

Kuburan Gong

Di Bekasi Timur ada daerah yang bernama Rawa. Dinamakan demikian karena dahulunya daerah itu memang berupa rawa-rawa yang berair. Lalu kemudian ditimbun dengan tanah untuk dijadikan pemukiman.Ditengah-tengah daerah itu ada persawahan yang sangat luas. Nah, ditengah persawahan itu ada gundukan tanah mengerucut yang lebih tinggi dari tanah-tanah sekitarnya. Tingginya kira-kira satu meter dan panjangnya kurang kebih tiga meter. Di kiri dan kanannya tumbuh pohon beringin yang sudah berumur puluhan tahun. Dilihat dari jauh gundukan tanah dengan dua pohon di kanan-kirinya terlihat seperti kuburan. Penduduk disana menyebutnya Kuburan Gong.

Banyak versi cerita mengenai Kuburan Gong, tetapi tidak ada yang tahu pasti kebenarannya. Salah satu versi cerita yang menarik tentang Kuburan Gong berkaitan dengan perjuangan rakyat Bekasi saat melawan penjajah Belanda.

Kabarnya, saat pemerintahan Belanda menduduki Indonesia, kesengsaraan rakyat terjadi dimana-mana. Rakyat kelaparan, pajak yang tinggi terasa mencekik, rakyat semakin miskin, penyakit merajalela. Di negeri sendiri meraka tak bebas untuk bepergian. Ada pekerjaan tanam paksa yang diwajibkan pemerintah Belanda sehingga menimbulkan korban kematian banyak orang.

Penindasan menimbulkan pemberontakan dimana-mana termasuk di daerah Rawa. Para pemuda menyusun strategi untuk melancarkan pemberontakan. Untuk mengelabui pemerintah Belanda beserta mata-matanya, mereka berkumpul di tengah persawahan. Untuk mencegah timbulnya kecurigaan, para pejuang menyamar sebagai penonton pertunjukkan tari dan musik jaipong, tanjidor dan tari topengyang diselenggarakan hampir tiap malam. Itulah hiburan satu-satunya bagi rakyat sekitar yang diperbolehkan saat itu. Apalagi para petinggi penjajah Belanda pun menyenanginya. Mendekati subuh para pejuang itu menghilang, bertepatan dengan berakhirnya acara kesenian itu.

Rakyat sekitar menyokong perjuangan para pejuang dengan cara masing-masing. Ada juragan yang diam-diam menyumbangkan uangnya untuk membeli perlengkapan gamelan. Orang yang ahli memainkan gamelan menyumbangkan tenaga dan keterampilannya. Para gadis penari dan penyanyi dengan sukarela tampil diatas pentas tanjidor, sampai menjadi mata-mata bagi para pejuang sambil pura-pura berjualan makanan.

Sementara itu di markas tentara Belanda akhir-akhir itu sering terjadi kegemparan. Seringkali, menjelang subuh tentara Belanda diserang orang-orang yang bertopengkan kain sarung. Beberapa kali markas mereka dibuat porak porandak. Pihak penjajah Belanda mulai gelisah, ketakutan marah, dan merasa diri mereka terancam. Sebagai pelampiasan mereka memeriksa rumah rumah penduduk untuk mencari orang-orangyang menyerang markas mereka. Tak menemukan yang mereka cari, beberapa penduduk lantas disandera sebagai taktik agar para penyerang bertopeng itu muncul.

Rupanya penyanderaan penduduk sangat berpengaruh pada para pejuang. Setiap malam ditengah-tengah pertunjukan kesenian, mereka membicarakan peristiwa itu dan mencari jalan keluar.

“Kita harus menunjukkan identitas kita. Kasihan rakyat yang menjadi korban,” kata salah seorang pejuang.

“Jangan! Perjuangan akan berhenti kalau kita muncul. Meraka akan tetap menyiksa rakyat dan kita juga. Kita pasti menemukan cara lain untuk membebaskan rakyat,” nasehat pejuang yang paling tua diantara mereka.

“Sepetinya gerakan kita mulai tercium. Hati-hati, mungkin ada mata-mata Belanda disekitar kita.”

“Ya! Kemarin aku mencurigai seseorangn dari warga disini yang menjadi mata-mata belanda.ia sering berkeliaran diantara penonton Tanjidor. Aku pernah melihatnya di markas Belanda. Apakah harus dihentikan untuk sementara waktu?”

“Jangan, kalau dihentikan secara mendadak akan menimbulkan kecurigaan.”

Akhirnya pertunjukkan jaipong, tanjidor dan tari topeng tetap berlangsung di tengah persawahan. Tetapi suasanyanya menjadi terasa mencekam. Para pemain musik menjadi tak bersemangat karena memikirkan sebagian anggota keluarga mereka yang ditawan Belanda. Penari yang biasanya menari sambil tersenyum riang, kini terlihat susah mengukir senyum. Sampai tiba-tiba,

“Bubarrrrr!!!!!!!!” teriak seseorang diantara kerumunan penonton. “Hentikan pertunjukkan ini!” teriaknya lagi. Ia berpakaina kopiah, bercelana kampret hitam sampai betis, berkaos putih yang ditutupi oleh kemeja hitam, dipundaknya tergantung kain sarung kotak-kotak. Tampak seperti rakyat sekitarnya. Dibelakang orang itu terlihat barisan tentara Belanda lengkap dengan senapan serta pimpinannya.

“Kurang ajar! Benar dugaanku! Dia mata-mata Belanda!” Bisik salah satu pejuang pada temannya.

“Semua tiarap kalau tidak ingin mati!” teriak mata-mata Belanda itu lagi.

Tanpa kecuali, semuanya tiarap. Para tentara Belanda itu menyebar ke segala arahuntuk memeriksa tempat itu. Sambil menodongkan senapan kea rah wajah orang-orang yang tiarap, para tentara mengisyaratkan mereka bangkit dan berkumpul di suatu tempat.

“Dari pada semua orang disini mati, lebih baik mengaku saja, hai pemberontakkepada kompeni!’ teriak mata-mata itu.

Tak ada jawaban, semua diam membisu. Para pejuang saat itu seperti harus memakan buah simalakama. Mengakui perbuatan mereka, para penduduk disekitar itu juga pasti akan dibunuh. Tidak mengakui mereka dan penduduk juga pasti akan ditembaki. Seperti yang sering kali sudah terjadi. Suasana tambah mencekam. Pimpinan pasukan Belanda sepertinya sudah tidak sabar lagi. Ia terus mendesak mata-mata itu untuk segera bertindak.

“Sebentar tuan, para pribumi tidak boleh dikasari. Kalau harga diri mereka sudah terluka, kekuatan mereka akan bangkit dan melebihi kekuatan kita,” bisik mata-mata pada pimpinan tentara Belanda. Tapi tampaknya pimpinan tentara itu tak sabar lagi. Ia mengisyaratkan tembakan keudara untuk menakut-nakuti para penduduk yang ada disana.

Tanpa diduga, dari arah belakang terdengar teriakan untuk menyerang! Benar saja, rupanya tempat itu telah dikepung oleh para penduduk yang sangat marah. Mereka telah mengikuti para tentara itu sejak melewati rumah-rumah mereka. Keberanian sejati telah muncul akibat dari penindasan yang selama ini mereka terima. Mereka hanya berbekal golok, clurit, dan benda-benda tajam lainnya tak peduli lagi akan tewas saat menghadapi para tentara yang bersenjatakan senapan.

Ternyata tentara Belanda itu pun tak siap mendapat serangan mendadak. Mereka lari kocar-kacir ketakutan melihat para penduduk yang marah dan tak menghiraukan teriakan komando sang pemimpin. Melihat semua anak buahnya lari, pemimpim tentara Belanda pun ikut-ikutan lari terbirit-birit.

Namun tetap saja peperangan itu selalu memakan korban. Setelah semua berakhir banyak juga korban tewas dari pihak penduduk. Mereka terkena peluru yang ditembakkan dengan panik oleh para tentara itu. Termasuk beberapa pejuang, para penari dan pemain musik.

Sebagai penghormatan dan mengenang perjuangan mereka, semua alat-alat musik dikuburkan jadi satu di tempat itu. Kabarnya sering terdengar tabuhan gong dari tempat itu. Kemudian tempat itu dikenal sebagai kuburan gong. Sayangnya sekarang kuburan Gong sudah diratakan. Sebab persawahan itu kemudian dijadikan lokasi perumahan mewah hingga kini.




Sumber : ORBIT

Tudung Kepala Ajaib


Alkisah, hiduplah seorang pemudayang rajin bekerja dan baik hati. Saban harinya, ia bekerja mencari kayu bakar untuk kemudian dijual ke pasar. Saban harinya ia pergi ke lading, ke hutan, untuk menebang pohon kemudian dipotong-potong dan diikat. Setelah ia rasa cukup, kayu bakar itu ia pikul lalu dibawa ke pasar. Pulang dari pasar ia akan membawa makanan dan keperluan lainnya.

“Kasihan sekali kamu, biar aku lepaskan perangkap itu,” ucap ucap pemuda itu lirih. Pemuda itu tersentuh hatinya. Ia iba. Ia dekati anak rubah yang terjepit itu. Dengan hati-hati ia lepaskan perangkap kayu tersebut. Perlahan namun pasti, anak rubah itu berdiri, kemudian pergi meninggalkan dirinya.

“Sekarang kamu telah bebas,pergilah sesuka hatimu,” kata pemuda itu. Beberapa hari kemudian, pemuda tersebut berjalan di tempat yang sama. Ia hendak mencari kayu bakar. Tiba-tiba muncullah anak rubah dihadapannya. Setelah diingat-ingat anak rubah tersebut adalah anak rubah yang tempo hari ia lepaskan dari jepitan perangkap kayu.

“Hei rupanya kamu telah sehat,” kata Pemuda itu.

Seolah mengerti anak rubah itu mengangguk.

“Sekarang, kamu lekas bermainlah sana di hutan bebas sana, tapi lebuh hati-hati ya.”

Anak rubah itu menggeleng. Ia mengeluarkan suara seolah minta pemuda itu mengikutinya.

Benar saja, anak rubah itu kemudian mengajak pemuda mengikutinya. Mereka berjalan jauh menembus hutan, menapaki jalan setapak, menerobos belukar hingga tiba di sebuah gua. Anak rubah itu kemudian mengeluarkan suara. Seolah sedang memanggil. Ternyata benar, disaat bersamaan, dari dalam gua muncul rubah besar. Ups, rubah besar itu adalah ibunya.

“Terimakasih anak muda, kamu telah menolong anakku hingga selamat. Aku bahagia sekali. Karena dia anakku satu-satunya,” kata Induk Srigala.

“Menolong itu sudah merupakan kewajiban,” jawab si Pemuda.

“Jika manusia punya hati seperti kamu, pasti indah kehidupan ini. Tidak ada lagi hewan yang diburu,” lanjut Induk Srigala.

“Begitulah seharusnya hidup ini berjalan,” lanjut Si Pemuda lagi.

“Sebagai ungkapan terimakasih, terimalah tudung kepala tua ini,”

Si Induk Srigala menyerahkan sebuah topi unik kepada si pemuda.

Pemuda tersebut menerimanya dengan senang hati. Ia berpikir tudung kepala tersebut sangat berguna untuk melindungi kepala dari terik panas matahari saat mencari kayu bakar. Kemudian ia melanjutkan perjalanan untuk mencari kayu bakar.

Tiba-tiba dalam perjalanan, gerimis turun. Pemuda itu segera mengenakan tudung kepala pemberian dari rubah. Aneh bin ajaib, ternyata saat ia mengenakan tudung tersebut, ia bisa mendengar setiap percakapan hewan yang ia temui di perjalanan.

“Pasti ini tudung ajaib,” bisiknya.

Tepat diatas pohon yang tak jauh darinya, sepasang burung pipit tengah berbincang-bincang.

“Ternyata, manusia yang lewat ke daerah ini semuanya bodoh. Mereka tidak tahu, bahwa dibalik batu yang setiap hari mereka lewati setiap hari, ada bongkahan emas,” kata burung pipit.

“Padahal kalau ada yang menemukannya, bisa menjadi orang paling kaya,” sahut burung pipit yang satunya.

Mendengar pembicaraan itu, pemuda tersebut terkejut sekaligus gembira. Segera ia menuju sungai yang setiap hari ia lewati. Sesampai di sana ia mencari batu yang berada di tengah-tengah sungai. Kemudian ia mendorong batu tersebut, dan ternyata benar dibaliknya terdapat sebongkah emas murni. Emas itu sangat berkilau. Dengan segera, ia mengambilnya kemudian hendak pulang. Ajaibnya lagi, tak jauh dari tempat tersebut, ia mendengar pembicaraan sepasang burung gagak di atas pohon.

“Kasihan gadis dikampung itu, sampai sekarang belum juga sembuh dari sakitnya,” kata burung gagak.

“Iya, padahal orangtuanya yang kaya, telah memanggil puluhan tabib,” sahut burung gagak lainnya.

“Orang tuanya tidak tahu, bahwa gadisnya itu sakit karena ada ular diatap rumahnya. Ular itu sering mematuk menebarkan bisa beracunnya,”

“Jadi kalau mau anak gadisnya sembuh, ular itu harus dikeluarkan dari rumahnya?”

“Betul,” kata burung gagak.

Keesokan harinya, pemuda tersebut berkunjung ke rumah orang kaya di desa yang cukup jauh dari rumahnya. Sampailah ia di depan sebuah rumah yang besar. Di pagar rumah tersebut terpampang tulisan: “Siapa Saja Yang Ingin Mengobati Anak Kami Silahkan Masuk”

Pemuda tersebut kemudian masuk dan mengutarakan keinginannya.

“Perkenankan saya membantu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh gadis Tuan.”

“Silakan, tentu saja dengan senang hati,” ucap orang tuanya.

Pemuda itu teringat pembicaraan sepasang gagak, bahwa di rumah tersebut terdapat ular di atas rumah mereka yang sering menyemburkan bisanya kepada anak gadis mereka.

“Sebenarnya, Tuan. Sakit yang diderita anak gadis Tuan karena ular yang terperangkap di atap rumah ini,” ucap pemuda tersebut.

“Wah, lalu harus bagaimana kita?” tanya si pemilik rumah dengan cemas.

“Kita keluarkan ular tersebut dari rumah ini. Ingat, jangan dilukai. Kita hanya mengusirnnya saja agar ia hidup bebas kembali di alam,” jelasnya.

“Baiklah, aku setuju.”

Ia segera memerintahkan orang-orang dirumahnya untuk membongkar atap rumah. Benar saja, di tempat tersebut, terdapat ular yang sangat besar. Awalnya mereka terkejut, ketakutan dan ingin membunuh ular yang telah menyebabkan anak gadis tuannya sakit. Mereka telah menghunus senjatanya masing-masing.

“jangan dibunuh, biarkan saja ia pergi. Kalau kita melukainya, bisa-bisa ia menyerang balik. Sangat bahaya, karena ukuran ular ini sangat besar,” kata si pemuda.

Mereka menurut permintaan pemuda tersebut. Ular yang besar tersebut mereka giring keluatr rumah. Mereka biarkan ular tersebut perhi menjauh menuju alam bebas. Orang-orangpun bersorak.

Benar saja, hari berganti hari. Gadis tesebut kembali sehat. Gadis tersebut kembali cantik, kenmbali ceria. Orang tuanya gembira bukan main. Mereka bisa melihat gadis kesayangannya bermain dan bersenda gurau. Tak lama kemudian, mereka ingat sipemuda yang baik hati. Seorang pemuda yang telah berjasa memberikan jalan keluar menyembuhkan penyakit yang diderita gadis mereka. Segera mereka memanggil si pemuda tersebut untuk mengucapkan terimakasih.

“Anak muda, berkat jasamu, anak gadis kami sehat kembali,” ucap orang kaya tersebut.

“Saling menolong terhadap sesame, merupakan kewajiban,” sahut si pemuda dengan takzim.

“Sebagai rasa terimakasih kami, aku ingin menikahkan kamu dengan anak gadis kami,” katanya.

Pemuda tersebut diam saja. Hatinya bersorak, bergembira. Pesta penikahan segera digelar. Orang-orang sekampung diundang untuk ikut merasakan kebahagiaan mereka. Pemuda tersebut sadar sekali, bahwa menolong terhadap sesame pasti akan mendapatkan balasan yang sangat besar.



Sumber : ORBIT