Suatu pagi, anak gadis penebang pohon berkata: “Ayah, memang selama ini
kita tidak pernah kekurangan makan, tapi ada baiknya juga kalau kita
sekali-kali menghidangkan sesuatu yang istimewa. Aku ingin sekali makan kue
kurma.”
“Tidak ada salahnya, anakku,” kata si penebang pohon. “Saya akan
mencari kayu lebih banyak hari ini.”
Demikianlah, ia lalu berjalan lebih jauh ke dalam hutan agar bisa
mengumpulkan lebih banyak kayu. Ternyata dia berjalan lebih jauh ke dalam hutan
agar bisa mengumpulkan lebih banyak kayu. Ternyata dia berjalan lebih jauh dari
rencananya. Ketika dia kembali, hari sudah malam. Tak bisa lagi dia pergi ke
pasar untuk menjual kayunya. Lagipula, ketika sampai ke rumahnya, anak gadisnya
telah tidur, dan pintu rumah dikunci. Berkali-kali dia mengetuk pintu, tetapi
tak ada jawaban. Jadi dia tidur diluar. Keesokan harinya, dia bangun ketika
hari masih gelap. Dia berkata, “Mumpung masih pagi, sebaiknya aku pergi saja
lagi mencari kayu. Kayuku bisa berlipat dari ini, dan aku bisa membelikan lebih
banyak kue korma untuk anakku.”
Dia lalu masuk lagi ke hutan untuk mencari kayu lebih banyak. Tetapi seperti
kemarin, dia pergi terlalu jauh lagi, dan lagi-lagi kemalaman. Jadi dia harus
tidur lagi di depan pintu.
Dia terbangun lagi sebelum fajar menyingsing. “Sebaiknya aku
memanfaatkan hari ini lagi,” katanya pada diri sendiri. “Aku akan mencari kayu
lebih banyak. Aku jadi bisa membelikan berapapun kue kurma yang diinginkan oleh
anakku.”
Seperti kemarin-kemarinnya, dia lagi lagi kemalaman dan pintu sudah
terkunci ketika ia kembali. Kali ini dia sudah tidak tahan, dia terjatuh di
muka pintu dan menangis tersedu-sedu.
“Ada apa, Pak Tua?”
Dia mengangkat kepalanya dan melihat seorang pertapa yang memakai jubah
dan sorban hijau.
“Ah! Tiga hari
aku pergi mencari kayu, dan tiga hari itu aku selalu kemalaman sehingga tidak
bisa masuk ke rumahku. Selama itu aku sama sekali tidak makan dan minum. Aku tidak
tahan lagi sekarang.”
Pertapa itu memandangnya dengan tajam.
“Hari apa sekarang, Pak Tua?”
Penebang kayu itu berkata, “Bukankah ini malam jum’at?”
“Betul sekali, ini malam menjelang hari suci kita. Dan itulah saat
datangnya Mushkil Gusha.”
“Mushkil Gusha?” tanya penebang kayu itu.
“Benar, Pak Tua, Mushkil Gusha,
sang penghilang kesulitan.”
Pertapa itu lalu mengeluarkan roti dan kismis dari kantungnya, dan
diberikan pada penebang kayu itu.
“Terimakasih, Bapak,” katanya dan diapun makan dengan lahap.
“Mungkin kamu tidak tahu,” kata pertapa itu lagi, “Tapi, Mushkil Gusha
telah menolong dirimu. Kalau kau ingin nasib baik bersamamu, inilah nasihatku:
tiap malam jumat, carilah seorang papa, seorang yang membutuhkan pertolongan. Tolonglah
orang itu, berikan apa yang bisa kau berikan, dan ceritakanlah tentang Mushkil
Gusha. Dengan begitu, kalian berdua mendapatkan pertolongan.”
“Terimakasih, Bapak,” katanya lagi. Tetapi ketika dia menengok pertapa
itu telah raib.
Dia masih terheran-heran, ketika tiba-tiba pintu rumahnya terbuka.
“Ayah, kemana saja selama ini? Masuklah segera, Ayah. Saya khawatir
sekali.”
Beberapa
hari berlalu, sementara itu si penebang kayu dan anaknya menikmati kue kurma,
hasil rejeki tambahannya.
Kemudian suatu pagi, ketika ayahnya sudah pergi ke hutan, anak gadis
penebang kayu pergi jalan-jalan ke taman kota. Ketika itu, ada sebuah kereta
kencana lewat dan tiba-tiba berhenti di dekatnya.
“Alangkah cantiknya gadis ini,” terdengar suara dari dalam kereta. “Wahai
gadis cantik, aku puteri raja. Maukah kamu menjadi dayangku?”
“Tentu saja mau, Tuan Puteri,” kata gadis itu terbata-bata.
Demikianlah anak gadis penebang kayu lalu jadi dayang Puteri Raja. Si gadis
dan Ayahnya pun menjadi kaya. Dia membeli rumah yang bagus, dan si Ayah tak perlu
lagi menebang kayu.
Tetapi dia lupa nasehat sang pertapa dulu.
Waktupun berlalu. Suatu hari Puteri Raja ingin pergi ke salah satu
kebun istana. Dayangnyapun di ajak. Disitu ada telaga kecil, dan merekapun lalu
berenang. Puteri Raja melepas kalung manikamnya dan menggantungnya di cabang
pohon yang menjuntai. Tetapi ketika pulang, Puteri lupa akan kalungnya. Beberapa
hari kemudian di istana, Puteri heboh mencari kalungnya yang hilang. Dengan marah
dia berkata kepada dayangnya, “Kamu mencuri kalungku! Kamu pasti mengambilnya
waktu kita berenang kemarin dulu itu.”
“Tidak Tuan Puteri, saya tidak mencurinya.”
“Kamu ini pencuri dan pembohong pula. Berani-beraninya kamu. Sekarang pergilah,
aku tidak ingin lagi melihat mukamu.”
Anak penebang kayu itu berlari pulang dengan air mata bercucuran. Hukuman
itu rupanya belum cukup. Tak lama kemudian, prajurit datang untuk menangkap si
penebang kayu. Dia digelandang dan di ikat di lapangan depan penjara. Kaki dan
tangannya diikatkan di sebatang besi, dan dia ditinggalkannya disana.
Orang-orang yang lewat mencibir, mengatangatai dan menghinanya. Alangkah
malunya. Tetapi ada juga orang yang baik dan melemparkan makanan kepadanya,
seperti melemparkan kacang kepada monyet di kebun binatang.
Ternyata saat itu malam Jumat. Ketika matahari terbenam, si penebang
kayu merenungkan apa yang terjadi kepadanya beberapa bulan terakhir ini. Tiba-tiba
dia berteriak, “Aduhai, alangkah malangnya diriku ini. Aku lupa pesan pertapa
tua itu dulu. Bukankah dia berkata aku harus bersedekah dan bercerita tentang
Mushkil Gusha setiap malam Jumat? Aku lupa, aku belum pernah menjalankannya
sekalipun!”
Entah bagaimana, pada saat itu ada yang melemparkan roti dan kismis
kepadanya. Sipaa yang melemparkan? Tak kelihatan orangnya. Tetapi tiba-tiba ada
seorang pengemis kecil lewat.
“Hai nak, kemarilah. Ini ada makanan, makanlah. Aku juga punya cerita
juga untukmu.”
Dengan gembira pengemis kecil itu duduk dan ikut makan. Sambil makan,
si penebang pohon menceritakan semua apa yang terjadi pada dirinya. Sejak anak
gadisnya minta kue kurma, sampai mengapa dia terikat disitu.
“Terimakasih, Pak,” kata pengemis itu. “Makanannya enak dan ceritanya
juga bagus. Mudah-mudahan akhirnya juga baik.”
Pengemis itupun beranjak. Baru melangkah beberapa jauh, tiba-tiba ada
seorang saudagar kaya menghampiri dan mendekapnya.
“Oh anakku, kamulah anakku, satu-satunya anakku. Sejak kamu dicuri di
hari kelahiranmu ayah terus berkelana mencari-cari seorang anak yang ada tanda merah
di pipi kirinya. Akhirnya aku menemukanmu, anakku.” Tapi sekian saja cerita
tentang pengemis kecil itu.
Keesokan harinya Puteri Raja berpiknik lagi di kebun pribadi Ayahnya. Lagi-lagi
Puteri berenang. Ketika Puteri menjulurkan kakinya akan masuk ke air,
dilihatnya bayangan kalungnya. Puteri pun menengok ke arah pohon, dan, oh,
ternyata itulah kalungnya, yang tersangkut di pohon.
“Ah, jadi betul, gadis penebang pohon itu tidak mengambilnya.”
Keputusan cepat diambil. Malam itu juga, si penebang pohon dilepaskan dari ikatannya di halaman penjara.
Anak gadisnya pun dipanggil kembali jadi dayang di istana.
Sejak itu, setiap malam Jumat si penebang pohon selalu berkelana,
mencari seseorang yang perlu ditolong. Memberikan sebagian dari yang dia punya,
lalu menceritakan kisah tentang Mushkil Gusha.
SUMBER :
ORBIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar