Sabtu, 12 Desember 2009

Kuburan Gong

Di Bekasi Timur ada daerah yang bernama Rawa. Dinamakan demikian karena dahulunya daerah itu memang berupa rawa-rawa yang berair. Lalu kemudian ditimbun dengan tanah untuk dijadikan pemukiman.Ditengah-tengah daerah itu ada persawahan yang sangat luas. Nah, ditengah persawahan itu ada gundukan tanah mengerucut yang lebih tinggi dari tanah-tanah sekitarnya. Tingginya kira-kira satu meter dan panjangnya kurang kebih tiga meter. Di kiri dan kanannya tumbuh pohon beringin yang sudah berumur puluhan tahun. Dilihat dari jauh gundukan tanah dengan dua pohon di kanan-kirinya terlihat seperti kuburan. Penduduk disana menyebutnya Kuburan Gong.

Banyak versi cerita mengenai Kuburan Gong, tetapi tidak ada yang tahu pasti kebenarannya. Salah satu versi cerita yang menarik tentang Kuburan Gong berkaitan dengan perjuangan rakyat Bekasi saat melawan penjajah Belanda.

Kabarnya, saat pemerintahan Belanda menduduki Indonesia, kesengsaraan rakyat terjadi dimana-mana. Rakyat kelaparan, pajak yang tinggi terasa mencekik, rakyat semakin miskin, penyakit merajalela. Di negeri sendiri meraka tak bebas untuk bepergian. Ada pekerjaan tanam paksa yang diwajibkan pemerintah Belanda sehingga menimbulkan korban kematian banyak orang.

Penindasan menimbulkan pemberontakan dimana-mana termasuk di daerah Rawa. Para pemuda menyusun strategi untuk melancarkan pemberontakan. Untuk mengelabui pemerintah Belanda beserta mata-matanya, mereka berkumpul di tengah persawahan. Untuk mencegah timbulnya kecurigaan, para pejuang menyamar sebagai penonton pertunjukkan tari dan musik jaipong, tanjidor dan tari topengyang diselenggarakan hampir tiap malam. Itulah hiburan satu-satunya bagi rakyat sekitar yang diperbolehkan saat itu. Apalagi para petinggi penjajah Belanda pun menyenanginya. Mendekati subuh para pejuang itu menghilang, bertepatan dengan berakhirnya acara kesenian itu.

Rakyat sekitar menyokong perjuangan para pejuang dengan cara masing-masing. Ada juragan yang diam-diam menyumbangkan uangnya untuk membeli perlengkapan gamelan. Orang yang ahli memainkan gamelan menyumbangkan tenaga dan keterampilannya. Para gadis penari dan penyanyi dengan sukarela tampil diatas pentas tanjidor, sampai menjadi mata-mata bagi para pejuang sambil pura-pura berjualan makanan.

Sementara itu di markas tentara Belanda akhir-akhir itu sering terjadi kegemparan. Seringkali, menjelang subuh tentara Belanda diserang orang-orang yang bertopengkan kain sarung. Beberapa kali markas mereka dibuat porak porandak. Pihak penjajah Belanda mulai gelisah, ketakutan marah, dan merasa diri mereka terancam. Sebagai pelampiasan mereka memeriksa rumah rumah penduduk untuk mencari orang-orangyang menyerang markas mereka. Tak menemukan yang mereka cari, beberapa penduduk lantas disandera sebagai taktik agar para penyerang bertopeng itu muncul.

Rupanya penyanderaan penduduk sangat berpengaruh pada para pejuang. Setiap malam ditengah-tengah pertunjukan kesenian, mereka membicarakan peristiwa itu dan mencari jalan keluar.

“Kita harus menunjukkan identitas kita. Kasihan rakyat yang menjadi korban,” kata salah seorang pejuang.

“Jangan! Perjuangan akan berhenti kalau kita muncul. Meraka akan tetap menyiksa rakyat dan kita juga. Kita pasti menemukan cara lain untuk membebaskan rakyat,” nasehat pejuang yang paling tua diantara mereka.

“Sepetinya gerakan kita mulai tercium. Hati-hati, mungkin ada mata-mata Belanda disekitar kita.”

“Ya! Kemarin aku mencurigai seseorangn dari warga disini yang menjadi mata-mata belanda.ia sering berkeliaran diantara penonton Tanjidor. Aku pernah melihatnya di markas Belanda. Apakah harus dihentikan untuk sementara waktu?”

“Jangan, kalau dihentikan secara mendadak akan menimbulkan kecurigaan.”

Akhirnya pertunjukkan jaipong, tanjidor dan tari topeng tetap berlangsung di tengah persawahan. Tetapi suasanyanya menjadi terasa mencekam. Para pemain musik menjadi tak bersemangat karena memikirkan sebagian anggota keluarga mereka yang ditawan Belanda. Penari yang biasanya menari sambil tersenyum riang, kini terlihat susah mengukir senyum. Sampai tiba-tiba,

“Bubarrrrr!!!!!!!!” teriak seseorang diantara kerumunan penonton. “Hentikan pertunjukkan ini!” teriaknya lagi. Ia berpakaina kopiah, bercelana kampret hitam sampai betis, berkaos putih yang ditutupi oleh kemeja hitam, dipundaknya tergantung kain sarung kotak-kotak. Tampak seperti rakyat sekitarnya. Dibelakang orang itu terlihat barisan tentara Belanda lengkap dengan senapan serta pimpinannya.

“Kurang ajar! Benar dugaanku! Dia mata-mata Belanda!” Bisik salah satu pejuang pada temannya.

“Semua tiarap kalau tidak ingin mati!” teriak mata-mata Belanda itu lagi.

Tanpa kecuali, semuanya tiarap. Para tentara Belanda itu menyebar ke segala arahuntuk memeriksa tempat itu. Sambil menodongkan senapan kea rah wajah orang-orang yang tiarap, para tentara mengisyaratkan mereka bangkit dan berkumpul di suatu tempat.

“Dari pada semua orang disini mati, lebih baik mengaku saja, hai pemberontakkepada kompeni!’ teriak mata-mata itu.

Tak ada jawaban, semua diam membisu. Para pejuang saat itu seperti harus memakan buah simalakama. Mengakui perbuatan mereka, para penduduk disekitar itu juga pasti akan dibunuh. Tidak mengakui mereka dan penduduk juga pasti akan ditembaki. Seperti yang sering kali sudah terjadi. Suasana tambah mencekam. Pimpinan pasukan Belanda sepertinya sudah tidak sabar lagi. Ia terus mendesak mata-mata itu untuk segera bertindak.

“Sebentar tuan, para pribumi tidak boleh dikasari. Kalau harga diri mereka sudah terluka, kekuatan mereka akan bangkit dan melebihi kekuatan kita,” bisik mata-mata pada pimpinan tentara Belanda. Tapi tampaknya pimpinan tentara itu tak sabar lagi. Ia mengisyaratkan tembakan keudara untuk menakut-nakuti para penduduk yang ada disana.

Tanpa diduga, dari arah belakang terdengar teriakan untuk menyerang! Benar saja, rupanya tempat itu telah dikepung oleh para penduduk yang sangat marah. Mereka telah mengikuti para tentara itu sejak melewati rumah-rumah mereka. Keberanian sejati telah muncul akibat dari penindasan yang selama ini mereka terima. Mereka hanya berbekal golok, clurit, dan benda-benda tajam lainnya tak peduli lagi akan tewas saat menghadapi para tentara yang bersenjatakan senapan.

Ternyata tentara Belanda itu pun tak siap mendapat serangan mendadak. Mereka lari kocar-kacir ketakutan melihat para penduduk yang marah dan tak menghiraukan teriakan komando sang pemimpin. Melihat semua anak buahnya lari, pemimpim tentara Belanda pun ikut-ikutan lari terbirit-birit.

Namun tetap saja peperangan itu selalu memakan korban. Setelah semua berakhir banyak juga korban tewas dari pihak penduduk. Mereka terkena peluru yang ditembakkan dengan panik oleh para tentara itu. Termasuk beberapa pejuang, para penari dan pemain musik.

Sebagai penghormatan dan mengenang perjuangan mereka, semua alat-alat musik dikuburkan jadi satu di tempat itu. Kabarnya sering terdengar tabuhan gong dari tempat itu. Kemudian tempat itu dikenal sebagai kuburan gong. Sayangnya sekarang kuburan Gong sudah diratakan. Sebab persawahan itu kemudian dijadikan lokasi perumahan mewah hingga kini.




Sumber : ORBIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar