Sebelumnya :
Hasil Panen yang Gagal (Part 1)
Cerita yang lalu :
Ayah Khalid sangat marah karena Khalid ikut mengaji di mesjid. Ustadz Salman yang mencoba mendamaikan, malah dihina dan diperlakukan dengan kasar. Khalidpun melarikan diri. Inilah lanjutan kisah Ustadz.
Aku masih tak bisa berkata-kata, lidahku kelu. Apakah aku harus mengutuki sang Ayah yang tidak punya belas kasihan sedikitpun? Aku benar-benar kagum pada anak yang tabah ini, yang telah dilimpahi keteguhan hati oleh Allah.
Hubungan ayah-anak yang seharusnya mesra, telah putus, menjadikan mereka seperti bermusuhan singa dan harimau. Kugenggam tangannya dan kuhapus airmata di pipinya. Kukatakan bahwa aku akan selalu mendoakannya.
“Kamu harus tetap hormat dan patuh kepada ayahmu. Tawakallah, kamu tidak sendirian. Aku akan mencoba bertemu dengan Ayahmu, dan minta agar dia mengasihimu.”
Apa yang menimpa Khalid terus menghantuiku. Aku mencari jalan untuk bisa bertemu dengan Ayahnya. Apa yang akan aku katakan? Bagaimana aku akan mengetuk pintunya? Tapi akhirnya aku bisa mengumpulkan keberanianku dan pergi menghadapi ayah Khalid.
Aku mengetuk pintu. Jariku bergetar dan lututku lemas. Pintu terbuka. Ayah Khalid tampak berdiri di muka pintu, bibirnya terkatup, wajahnya kaku karena marah.
Aku tersenyum. Siapa tahu dibalas. Ternyata dia maju, menarik leher bajuku dengan keras, sehingga wajah kami berhadap-hadapan.
“Kamulah terorid, fundamentalis yang mengajar Khalid di mesjid kan?”
“Ya…memang betul…”
“Kuperingatkan kamu. Jangan dekat-dekat Khalid lagi. Atau kupatahkan kedua kakimu kalau kulihat Khalid bersamamu. Khalid tidak akan datang ke kelasmu lagi!”
Lalu,… astaga, dia meludahi wajahku. Didorongnya aku keluar, dan pintu ditutup dengan keras.
Pelan-pelan aku keluarkan saputangan dan menghapus penghinaan itu dari wajahku. Masya Allah.
Sang Utusan Allah –SAW- telah menerima penghinaan lebih dari ini. Beliau disebut penipu, dimaki-maki, dilempari batu sampai berdarah-darah. Ditinju sampai giginya patah, ditimbuni kotoran onta dan diusir dari rumahnya. Aku harus sabar menanggungkan semua ini.
Hari berganti hari, menjadi bulan dan tahun. Khalid tak pernah lagi kelihatan. Ayahnya melarang dia keluar rumah. Kami selalu mendoakan dia. Sampai akhirnya kami melupakannya.
Bertahun-tahun lewat. Suatu malam selepas Isya, di mesjid, sebuah bayangan berkelebat di belakangku. Sebuah tangan yang kasar menekan bahuku. Aku menoleh. Kulihat sebuah wajah yang kasar, penuh kerut-kerut penderitaan. Dan ah, itu mulut yang dulu meludahiku.
Tetapi ada yang berubah. Wajah yang bengis itu telah hancur. Otot-otot yang menunjukkan kemarahannya dulu sudah melemah. Tubuhnya tampak sangat lelah, seakan-akan menahan sakit dan pergolakan batin.
“Apa khabar?” aku mencium tangannya. Kubimbing dia ke sudut mesjid. Dia terpuruk ke pangkuanku sambil menangis.
Subhanallah, tak pernah terbayangkan singa yang kejam itu bisa berubah menjadi anak kucing.
“Bicaralah. Ada apa? Mana Khalid?”
“Khalid!” Nama itu seolah palu godam yang menghantam kepalanya. Seolah ujung panah yang merobek hatinya. Dia terhuyung-huyung, jatuh lagi.
“Khalid sekarang bukanlah Khalid yang dulu. Dia tidak lagi lembut dan manis.”
“Setelah meninggalkan mesjid, dia berteman dengan anak-anak jalanan. Memang sejak kecil dia suka berteman. Dia segera terperangkap oleh geng anak-anak nakal itu,” katanya.
“Mula-mula dia hanya merokok. Kumarahi, kupukuli dia. Tapi tak ada gunanya. Tubuhnya sudah terbiasa menerima pukulan sejak kecil.” Si Ayah tersenyum kecut.
“Badannya tumbuh pesat. Dia mulai tidak pulang. Baru berhari-hari dia kembali dengan wajah lusuh. Pelajaran dilupakan, dan dia dikeluarkan dari sekolah. Kadang-kadang jika dia pulang, dia meracau, tubuhnya gemetar,” katanya lagi.
“Tubuhnya, yang tadinya sehat dan bugar, telah berubah. Wajahnya yang dulu seolah bercahaya, sekarang kuyu. Hitam dan kotor.”
Lanjutnya lagi: “Matanya yang dulu tampak malu-malu juga telah berubah. Warnanya merah, seolah-olah segala barang maksiat yang dihisap atau diminumnya terpancar dimatanya. Matanya itu seolah memancarkan hukuman yang harus diterimanya, didalam hidupnya sekarang ataupun hidupnya kelak kemudian hari.”
Bicaranya tak dapat berhenti.
“Dia memandang dengan penuh kebencian kepada siapa saja dan segala apa. Hatinyapun menjadi keras. Tak ada lagi kasih sayang dan keramahan. Sekarang dia berubah jadi anak yang tak peduli pada sekitarnya.”
Dia mengambil nafas :
“Tak ada hari tanpa bencana. Dia berani memaki dan memukulku. Bayangkanlah, aku ini ayahnya, tapi dia memukuliku.”
Setelah mencurahkan isi hatinya, matanya memandang aku lagi. Mata yang penuh kesedihan dan keperihan.
“Aku mohon kepadamu Ustadz Salman, tengoklah Khalid. Ajaklah dia kembali ke mesjid. Kali ini aku merestuinya. Pintu rumah kami sekarang terbuka untuk Ustadz.”
“tengoklah Khalid, Ustadz. Dia sangat mencintai dan menghormati Ustadz. Ajaklah lagi dia masuk untuk mengaji. Ajaklah kemana saja. Bahkan menginap di mesjidpun aku izinkan.
Suaranya kini bergetar :
“Ynag terpenting Ustadz Salman, Khalid kembali ke jalan yang benar.”
“Aku mohon, aku mohon Ustadz, kucium tanganmu, kakimu, apapun, apapun…” katanya menghiba-hiba.
Dia menangis, merintih-rintih sampai jatuh pingsan oleh kesedihan dan penderitaannya. Kubiarkan saja dia, agar tuntas mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
Kemudian aku berbicara kepada :
“Aku akan mencoba, walaupun keadaan sudah seburuk ini. Bapak, bapak telah menanam benihnya. Dan inilah buah yang harus bapak petik.”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar